oleh: Widodo Setiadharmaji
Mineral kritis telah menjadi senjata baru dalam perang dagang dan rivalitas geopolitik global. Ketegangan antara Amerika Serikat dan Tiongkok meluas hingga penguasaan mineral-mineral ini—yang menjadi fondasi bagi transisi energi, industri pertahanan, dan teknologi masa depan. Pembatasan ekspor, penguasaan cadangan, dan dominasi rantai pasok kini menjadi alat diplomasi sekaligus tekanan ekonomi antarnegara. Dalam konteks inilah, tata kelola rantai pasok mineral kritis menjadi poros baru pertarungan pengaruh global.
Indonesia mengambil langkah strategis di tengah eskalasi global tersebut dengan membentuk Badan Industri Mineral (BIM) melalui Keputusan Presiden Nomor 77/P Tahun 2025. Sebagai lembaga non-struktural di bawah Presiden, BIM ditugaskan untuk mengawal strategi nasional pengelolaan mineral kritis. Kepala BIM, Brian Yuliarto, menegaskan bahwa BIM akan berfokus pada pengelolaan logam tanah jarang (LTJ) dan mineral radioaktif, dua jenis mineral strategis yang memiliki peran penting dalam transisi energi dan industri pertahanan nasional. Dengan kepemimpinan yang kuat serta mandat langsung dari Presiden, BIM diharapkan mampu menjembatani kebutuhan eksplorasi, riset, hilirisasi, dan strategi kedaulatan mineral dalam satu kerangka pembangunan yang terintegrasi.
Potensi dan Tantangan
Indonesia sering disebut sebagai negara kaya mineral kritis, namun untuk komoditas seperti LTJ, kondisinya jauh dari mapan. Hingga akhir 2023, data Kementerian ESDM menunjukkan bahwa sebagian besar potensi LTJ Indonesia masih berada dalam tahap sumber daya, belum mencapai kategori cadangan. Sumber daya LTJ yang teridentifikasi mencapai sekitar 136,2 juta ton bijih, tersebar di Bangka Belitung, Sumatra, Kalimantan, sedimen laut, dan abu batubara. Namun, ketiadaan kepastian cadangan yang telah tervalidasi menjadi penghambat utama dalam menarik investasi, membangun industri pengolahan, dan menyusun kebijakan nasional yang berbasis data. Hal yang sama juga berlaku bagi mineral radioaktif, yang hingga kini belum memiliki peta cadangan nasional yang jelas.
Upaya penelitian terhadap LTJ sejatinya sudah dimulai sejak lama oleh berbagai lembaga, namun riset-riset ini masih tersebar, tidak saling terhubung, dan belum menghasilkan roadmap industrialisasi yang konkret. Selain keterbatasan pendanaan dan fasilitas, kendala utama juga terletak pada aspek kelembagaan—tidak adanya satu institusi yang secara khusus mengoordinasikan riset, validasi teknologi, dan pemetaan potensi LTJ secara sistematis.
Dalam konteks inilah, kehadiran BIM menjadi krusial untuk memimpin dan mensinergikan berbagai aktivitas penguatan cadangan, penguasaan teknologi, dan penyusunan regulasi.
Model Tata Kelola Mineral Kritis Global
Pemerintah-pemerintah di dunia membentuk lembaga khusus yang diberi mandat untuk mengkoordinasikan strategi pengembangan mineral kritis nasional secara terpadu.
Tiongkok mengelola industri rare earth melalui pembentukan National Rare Earth Development and Application Leading Group pada tahun 1975, yang kemudian disebut sebagai Rare Earth Office. Lembaga ini dipindahkan ke Kementerian Perindustrian dan Teknologi Informasi (MIIT) pada 2008 untuk menjalankan fungsi sebagai integrator perencanaan dan pelaksanaan strategi pengembangan mineral kritis. Peran ini didukung oleh Komisi Pembangunan dan Reformasi Nasional (NDRC), Kementerian Perdagangan (MOFCOM), dan Kementerian Sumber Daya Alam (MNR) yang secara terkoordinasi mengatur perencanaan, perdagangan, dan perizinan.
Dari sisi kebijakan, Tiongkok berevolusi dari insentif ke kontrol yang ketat. Awalnya, mereka menerapkan pengembalian pajak ekspor pada 1985 untuk mendorong pertumbuhan industri. Setelah dominasi tercapai, kebijakan bergeser ke pembatasan ekspor dan pengenaan pajak yang agresif pada tahun 1999 untuk mengamankan sumber daya domestik.
Tiongkok juga membangun kekuatan melalui konsolidasi perusahaan BUMN raksasa seperti China Rare Earth Group Co., Ltd., yang bertindak sebagai “agen” strategis untuk mengendalikan harga, menguasai pasar, dan mengakuisisi aset tambang di seluruh dunia. Selain itu, pilar utama strategi ini adalah penguasaan teknologi hilir. Lembaga riset nasional seperti Baotou Rare Earth Research Institute didanai besar-besaran untuk mengembangkan teknologi pemisahan dan pemurnian.
Singkatnya, keberhasilan Tiongkok bersumber dari sinergi sempurna antar lembaga, implementasi oleh BUMN, dan investasi strategis pada riset.
Amerika Serikat, mengambil pendekatan serupa dengan membentuk komite dan kelompok kerja lintas lembaga, seperti Critical Minerals Subcommittee dan Interagency Working Group, yang mengkoordinasikan 14 lembaga federal. Ini menekankan pentingnya tata kelola dan kolaborasi antar lembaga. Australia membentuk Critical Minerals Office (CMO), sementara Kanada membentuk Critical Minerals Centre of Excellence (CMCE), yang keduanya menjadi simpul koordinasi kebijakan dan riset nasional mereka. Uni Eropa menggunakan kekuatan regulasi, seperti European Critical Raw Materials Act, yang menetapkan target kuantitatif penguasaan mineral kritis. Jepang mengandalkan Japan Organization for Metals and Energy Security (JOGMEC) untuk mengelola investasi luar negeri, riset, dan strategi diversifikasi pasokan.
Keseluruhan praktik ini menunjukkan bahwa kelembagaan merupakan tulang punggung strategi mineral kritis. Lembaga yang kuat, memiliki mandat legal, akses terhadap pembiayaan, serta mampu menjadi simpul koordinasi lintas sektor—menjadi elemen krusial dalam menentukan keberhasilan pengelolaan dan pengembangan mineral kritis nasional.
Menyatukan Fragmentasi, Memperkuat Tata Kelola
Pembelajaran dari berbagai negara menunjukkan bahwa keberhasilan pengelolaan mineral kritis ditentukan oleh sejauh mana negara mampu membangun kelembagaan yang berperan aktif sebagai policy driver dan institutional integrator—bukan sekadar menjadi koordinator administratif.
Pertama, BIM harus mengkonsolidasikan dan mendorong upaya eksplorasi, validasi, dan pengembangan sistem data nasional. BIM perlu memimpin upaya untuk memetakan dan memvalidasi potensi cadangan LTJ dan mineral radioaktif secara sistematis. Hasil eksplorasi ini kemudian harus diintegrasikan ke dalam basis data nasional yang akurat, menjadi landasan bagi pengambilan keputusan yang strategis dan menarik investasi.
Kedua, BIM perlu diberikan kewenangan koordinatif yang jelas dan kuat, baik terhadap kementerian teknis maupun lembaga riset. Peraturan Presiden perlu menetapkan BIM sebagai simpul koordinasi nasional. Tanpa kewenangan yang memadai, upaya integrasi antara eksplorasi, riset, dan hilirisasi akan terhambat oleh ego sektoral.
Ketiga, BIM harus memimpin penguatan kapasitas riset dan pengembangan teknologi menjadi agenda mendesak. BIM harus memimpin konsolidasi riset nasional melalui skema pendanaan yang kompetitif dan berkelanjutan, membuka kolaborasi dengan perguruan tinggi, BUMN, dan mitra luar negeri.
Keempat, BIM perlu menyusun kerangka regulasi, tata kelola dan roadmap yang dibutuhkan dalam pengembangan mineral kritis, termasuk aspek insentif, pendanaan riset dan pengembangan, dan keamanan pasokan dan ESG.
Kelima, BIM harus memimpin sinergi BUMN untuk mengamankan cadangan dan menguasai rantai pasok, baik di dalam maupun luar negeri.
Pada akhirnya, BIM diharapkan menjadi langkah awal strategis untuk membangun industri masa depan Indonesia yang lebih kuat dan mandiri. Pengalaman dari Tiongkok, Amerika Serikat, dan negara-negara lain menunjukkan bahwa keberhasilan pengembangan mineral strategis terletak pada kemampuan mengelola, mengintegrasikan, dan memanfaatkan sumber daya secara sistemik. Jika dijalankan dengan komitmen dan kapasitas yang memadai, BIM akan menjadi kunci untuk mewujudkan kedaulatan industri dan kemandirian teknologi menuju Indonesia Emas 2045.